Pengantar SWEG Jilid Kedua— Lanskap Perkebunan & Kerja-Kerja Beracun
Sesi Pertama Diskusi Vol. II SWEG
Hai semuanya, pada sesi pengantar diskusi SWEG (Sawit Womxn Educational Group) kami berbagi cerita tentang bagaimana racun menjadi bagian tak terpisahkan dari rantai pasok sawit yang meracuni sepanjang rantai pasok. Diskusi ini membahas tentang dampak racun secara sosial, lingkungan, kesehatan, ekonomi, dan kerja, serta bagaimana racun membentuk lanskap tersendiri. Dannn yang paling penting, bagaimana kondisi buruh di lapangan dan tantangan pengorganisasian buruh sawit menjadi referensi utama untuk sesi diskusi ini.
Lanskap kerja beracun
Pada sesi perdana kali ini, SWEG mencoba membaca ulang lanskap kerja perkebunan dan kerja-kerja beracun melalui empat bacaan dan pengalaman-pengalaman di lapang yang kita diskusikan bersama-sama. Pls save dan baca bacaan rekomendasi kami, sebelum lanjutin baca post ini.
List bahan bacaan:
1. Poisoned and Silenced (Tenaganita dan PAN AP, 2002).
2. Factsheets Paraquat (PAN AP, 2012).
3. Skandal Besar Minyak Kelapa Sawit (Amnesty International, 2016).
4. Menjalar dalam Diam (Kinasih, 2024)
Buat kalian yang belum sempat membaca, simak rangkuman tek tok antara cerita Maer, Nur, dan Jamilah tentang proses kerja-kerja beracun terjadi:
Jadi di perkebunan itu, tiap orang mengerjakan pekerjaan spesifik. Untuk racun sendiri ada tiga jenis pekerjaan. Beban kerjanya melelahkan dan pekerjanya sakit. Awalnya mereka tidak tahu kalau kerjaan mereka berbahaya. Dan memang dibuat tidak tahu. Perusahaan tidak pernah sebut jenis racun dan bahaya.
Dan menyedihkannya, ketika investigasi kebun di Sambas, kami menemukan merek pestisida yang pitanya biru tapi gambar di pitanya menunjukan itu kuning. Ketika ditrack alamat perusahaannya (produsen racun) lokasinya tidak jelas. Buruh marah dan lelah atas bertahun-tahun kondisi ini, tapi mau bagaimana lagi: pilihan kerja sangat terbatas!
— Sahut menyahut bercerita tentang riset, bahan bacaan, dan cerita lapang.
Ketika menelusuri tentang, mengapa dan bagaimana buruh terpaksa diracuni, diskusi tentang pendefinisian standar “racun” dan “tidak beracun” atau “sedikit beracun” menjadi menarik. Misalnya, ketika berbagai negara berupaya menghentikan distribusi herbisida berbahan aktif paraquat diclorida karena memicu kanker, di Indonesia sendiri, racun ini masih dapat digunakan karena dikategorikan sebagai bahan kimia penggunaan terbatas yang dapat digunakan oleh pekerja terlatih dengan prosedur keamanan yang tinggi. Lalu, berbagai penelitian di Indonesia muncul mengatakan racun paraquat menopang produktivitas pertanian dan masih bisa ditoleransi tubuh pada ambang batas tertentu. Sangat sedikit uraian mendalam tentang daur racun bagi kesehatan tubuh pengguna dan lingkungannya — begitu sedikit, saking sedikitnya pekerja kebun yang baru sering kali beranggapan bahaya racun itu sepele dan banyak orang kira, keracunan itu masuk angin!
Sehingga, membaca bias standarisasi menjadi penting. Keputusan Indonesia ini tidak dapat terlepas dari bias kepentingan kapitalis yang menginginkan efisiensi pembasmian gulma dan juga biar para kapitalis yang memproduksi senyawa berbahaya ini. Sebagaimana kami diskusikan:
Semua standar ini bisa diciptakan. Tapi untuk menerjemahkan standar ini aman dan tidak aman secara sosial, sangat bergantung pada proses lobbying politik atas apa yang dianggap “baik” dan “tidak baik”. Proses ini dilakukan perusahaan secara standar arbitrer yang diperparah dengan regulasi negara yang hancur.
— Pepe, dalam merangkum diskusi tentang kelas bahaya racun yangdinyatakan dalam pita sepanjang label.
Membaca bias politik dalam standarisasi racun, kami percaya, walaupun ada sejuta rekomendasi konvensi yang mendesak negara dan perkebunan tidak menggunakan racun pun, berbagai racun akan senantiasa diproduki — walaupun itu bodong. Bagi kami, perkebunan sawit akan tetap menggunakan racun karena penggunaan bahan kimia perkebunan bukan hanya tentang produktivitas perkebunan tapi juga bagian dari pendisiplinan rezim kerja perkebunan. Hal ini juga diperkuat dengan bertahun-tahun buruknya kondisi kerja yang dibentuk oleh standar perusahaan yang arbitrer, lemahnya regulasi negara, yang dibarengi dengan tantangan berserikat. Dengan sudut pandang ini, bagaimana apa bila ketidaktahuan buruh tentang racun dikondikan untuk mengontrol populasi buruh—?
Merespon ini, Siti bercerita tentang pengalamanya di kebun sawit. Setelah menapatkan pendidikan di luar tempat kerja, ia dan kawan-kawan menjadi ibu-ibu semprot bawel yang senantiasa mengkritik standar minimal perusahaan yang bahkan mengacu pada aturan-aturan tua tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Bagaimanapun, alih-alih memperbaiki kondisi, sekarang Siti malah dipindah kerjakan.
Harusnya, (dalam) satu blok itu ketika semprot, (penyemprot) tidak boleh bertemu dengan pemanen. Kalau bertemu nanti pemanen mabuk karena herbisida. Harusnya ketika disemprot itu ya disemprot dulu biar efeknya kemana-mana. Tapi perusahaan tidak mau. Perusahaan seenaknya. Tapi, sekarang aku sudah tidak di bagian semprot, jadi belum ada yang protes lagi.
— Siti, tentang standar arbitrer perusahaan.
Mungkinkah, ada penawar racun?
Sebagai orang yang menolak tubuh kami dikoyak racun perkebunan — kondisi racun, keracunan, dan kondisi kerja beracun ini membuat kami (mencoba, memaksa diri) membayangkan sebuah dunia tanpa racun. Dimulai dari pertanyaan Sekar tentang perhitungan efisiensi produksi perkebunan yang menggunakan racun atau beralih ke keracun organik dan pertanyaan Maer tentang gambaran perkebunan sawit yang lebih baik di negara-negara lain. Kami mengimajinasikan, apakah mungkin perkebunan tanpa racun?
Apakah perusahaan punya analisis risiko soal racun terhadap sawit? Menguntungkan perusahan tidak? Akhirnya, adakah perkebunan sawit tanpa racun? Pada beberapa negara, misalnya Malaysia, perjuangan perkebunan sawit yang terintegrasi ternak didorong dengan penguatan argumen secara ekonomi, budaya, dan narasi pasar berkelanjutan. Tapi selain contoh itu, apakah mungkin ada contoh-contoh perkebunan sawit tanpa racun?
— Sekar dan Maer, sahut menyahut soal menguantifikasi produktivitas kebun dengan racun dan bayangan dunia tanpa racun.
Merespon ini, Kartika dan Aisha yang pernah terlibat dalam konferensi Transisi yang Berkeadilan di Industri Sawit (International Just Transition Conference) di Bern pada akhir Desember 2024 lalu merespon dengan kemunculan narasi tentang sawit di hilir. Menurut Aisha, diskusi tentang perkebunan sawit tanpa racun masih sangat terbatas. Lalu Kartika membagikan studi literaturnya tentang alternatif model perkebunan tanpa racun. Menurutnya, sawit tanpa racun dapat dimungkinkan apa bila memulai model Integrated Pest Management (IPM) dan agroekologi yang kebanyakan dicoba di Brazil. Dalam hal ini, baik Kartika dan Pepe juga sepakat, penguatan organisasi tani dan buruh perlu dilakukan dalam mendorong bentuk penanaman sawit polikultur.
Tentunya ide perubahan mode produksi perkebunan juga penting direspon oleh perempuan-perempuan di akar rumput. Khususnya perempuan buruh dan tani sebagai agen utama dalam transisi ini. Menyambut ini, tiga orang buruh sawit dan kawan-kawan SWEG yang pernah berkesempatan memfasilitasi diskusi di perkebunan menceritakan peluang, tantangan, dan respon buruh dalam menginisiasi diskusi tentang racun.
Sehingga, kami menutup diskusi dengan pertanyaan akhir — apa yang perlu dilakukan peneliti dan serikat buruh di lapang. Bentuk kerja seperti apa yang sudah dilakukan dan perlu dilanjutkan?
Dari segi kawan-kawan yang sedang meneliti dan berkesempatan fasilitasi — diskusi tentang racun dapat senantiasa dimulai. Misalnya, dengan menanyakan dampak kesehatan dari kerja nyemprot atau mengamati ujung kuku yang patah. Selain itu, beberapa teman SWEG yang pernah menginisiasi pendidikan dengan buruh juga mencoba beberapa metode. Misalnya metode baca bareng buruh melalui cetak pamflet [lihat pamflet di sini] yang mengedepankan buruh sebagai subjek dapat dipertimbangkan. Selain itu penting untuk melibatkan ahli yang dapat membaca kondisi lapang secara saintifik untuk membuka akses pengetahuan. Pada satu sisi aktivitas seperti ini memberikan kekuatan buruh untuk berargumentasi memperjuangkan kondisi kerjanya. Walaupun di sisi lainnya, tantangan mempertahankan diskusi rutin walaupun tidak ada sumber daya juga menjadi problem tersendiri. Yah—, dari pada tidak sama sekali, setidaknya bentuk-bentuk kerja seperti ini perlu dilakukan untuk terus membersamai serikat buruh!
Selain itu dari segi serikat buruh, beberapa kawan dari kebun juga membagikan pendapatnya. Menurut mereka, diskusi pestisida, racun, dan kesehatan bagi anggota serikat buruh perempuan masih relevan untuk dilakukan. Justru, agenda pendidikan tentang bahaya racun merupakan salah satu langkah yang strategis untuk mereka berkumpul.
Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri, membuat kesadaran racun adalah bahaya yang harus didiskusikan secara rutin juga hal yang menantang bagi para perempuan di perkebunan sawit. Faktor utamanya tentu kesibukan dan terbatasnya ruang-ruang berkumpul. Selain itu, sering kali anggota serikat mereka hanya berkesempatan berkumpul ketika ada masalah besar saja, misalnya tentang upah, pemecatan, dan kecelakaan. Sedangkan racun yang diam-diam mematikan seringkali terabaikan.
Serikat sekarang sudah jarang kumpul, mau mengadu kesusahan, tidak lagi seperti dulu, tidak kompak seperti dulu. Padahal saya merasakan sendiri batuk-batuk karena racun.
— Salwati, tentang tantangan Serikat Buruh Kebun
Seru (ikut diskusi ini) sambil berkumpul sambil belajar. Tapi sudah mau setahun lebih tidak ada pertemuan, jadi anggota (serikat) kurang semangat, serikat dianggapnya sepele dan tidak ada manfaatnya. Selain itu juga ada kekecewaan terhadap serikat, dan tidak percaya (oleh kawan yang lain). Harapannya serikat leih sering melakukan pertemuan. Agar bisa menjelaskan bahaya racun bagi pekerja. Kita sudah tahu racun berbahya, tapi pekerja yang lain juga perlu tahu.
— Jamilah, tentang tantangan dan cita-cita Serikat Buruh Kebun
Menurut kami, penting untuk menjadikan serikat sebagai ruang untuk anggotanya; bukan untuk marah-marah saja, tapi juga untuk pendidikan. Hal ini mengindikasikan serikat harus lebih banyak berkumpul!
Fin
Siapa pun bisa menjadi bagian dari tulisan dan diskusi ini. Tertarik diskusi dan baca bareng tentang racun bersama kawan-kawan yang memiliki ketertarikan di kerja-kerja di topik perkebunan sawit, gender, dan feminis? — Simak terus substack SWEG dan libatkan diri dengan berkumpul dua mingguan bareng SWEG. Yuk, jadi bagian dari kerja-kerja kolektif membentuk ruang aman dan merawat kelompok belajar untuk mendorong transisi berkeadilan bagi komunitas masyarakat perkebunan di industri sawit. Sampai jumpa!